Pada Mulanya adalah Misi Zending
Keberadaan jemaat GKI Klaten merupakan buah dari
karya misi gereja-gereja di negara Belanda yang lazim disebut Zending. Karenanya itu penting untuk
menulusuri sejarah pekabaran Injil di wilayah karesidenan Solo.
Sebelum benih Injil disebar di Solo, sebenarnya
pekabaran Injil sudah lebih dulu dilaksanakan di wilayah Klaten. Pada tahun
1833, pendeta Wilhelm bekerja sama dengan kyai Sadrah mengadakan persekutuan dengan orang-orang Kristen di
desa Birit dan Mawen di kecamatan Wedi. Sampai sekarang di Mawen terdapat
Gereja Kerasulan Baru Indonesia yang merupakan karya penginjilan kyai Sadrah.
Saat itu Solo masih tertutup bagi pemberitaan
Injil. Pemerintah Hindia Belanda dan raja Surakarta melarang aktivitas
kekristenan di wilayah Surakarta. Meski demikian, pada tahun 1895, Dr. J. G.
Scheur, seorang dokter utusan zending diizinkan
membuka praktik dokter di kampung Gilingan. Dia dibantu istrinya, bpk.Yoram, bpk. SambiyoReksohusodo dan bpk.
Kalam Efrayim. Sebelum memeriksa orang sakit, sang dokter lebih dahulu membacakan
Alkitab dan berdoa. Tiap hari minggu diadakan “kumpulan”. Sehabis kumpulan,
mereka diajak merenungkan firman
Tuhan dengan tanya jawab. Dr. J. Scheurer dan pembantu-pembantunya bekerja giat
dilandasi sifat kasih sayang.
Ketika Residen Surakarta mengetahui bahwa Dr. J.G.
Scheurer juga memberitakan injil, maka izin praktiknya dicabut. Dia pindah ke
Purworejo. Orang-orang percaya yang ditinggalkan dokter itu lalu mengadakan
kebaktian di Ngemplak, di rumah pak Joyokardomo. Yang hadir dalam kebaktian itu
rata-rata 20 orang. Mereka ini adalah jemaat mula-mula di Surakarta. Mereka
mendapat pembinaan kerohanian dari pdt. C. Zwaan, yang diteruskan oleh pdt. D.
Bakker Sr.
Pendeta D. Bakker ini berusaha dengan gigih
meminta izin kepada Gubernur Jenderal Idenburg agar gereja diizinkan melakukan
pekabaran Injil di wilayah Surakarta. Dia mengajukan alasan bahwa setiap orang
seharusnya bebas untuk memilih dan memeluk agama. Tidak boleh dipaksa atau
dilarang. Oleh karena itu, Bakker meminta supaya pekabaran Injil dalam bentuk
apa pun diperbolehkan dan tidak dihalangi. Namun sayangnya izin tidak
diberikan.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru
naik tahta di kerajaan Belanda berpidato di Parlemen Belanda. Dia menegaskan
bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi
di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan
moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis yang meliputi irigasi, emigrasi
dan edukasi.
Setelah munculnya Politik Etis ini, pendidikan di Hindia Belanda mulai
mendapat perhatian khusus.
Kebijakan politik etis ini mendorong Gubernur
Jenderal Idenburg dengan persetujuan raja Surakarta, Susuhunan PB X dan adipati
Puro Mangkunegara, Sri Paduka Mangkunegara VII, akhirnya mengabulkan permohonan
kegiatan pekabaran Injil (PI) secara resmi di kota Surakarta, pada tahun 1910.
Terbukanya wilayah Surakarta ini merupakan buah dari perjuangan selama 20
tahun. Gereja sudah mengajukan izin PI sejak tahun 1890.
Dengan dikabulkannya permohonan Zending ini, maka gereja-gereja
protestan di Belanda mulai menyiapkan misionaris untuk melaksanakan PI dan
mengelola pendidikan dan pelayanan kesehatan. Supaya tidak terjadi persaingan
yang tidak sehat di antara mereka, maka gereja-gereja protestan ini membentuk
lembaga misionarisyang bernama Zending
Gereformeerdpada tahun 1913.
Kegiatan Zending
di Hindia Belanda pada dasarnya mempunyai dua tugas yaitu di bidang pendidikan
dan di bidang kesehatan. Dalam kedua bidang tersebut pada awalnya dimulai
adanya semacam utusan dari negeri Belanda yang disebut dengan Zendeling Leerar (utusan pekabar Injil)
serta Zendeling Onderwijs (utusan
guru). Pada tahap berikutnya diikuti oleh Zendeling
Diacoon (utusan mantri perawat) dan Zendeling
Arts (utusan dokter).
Zending
Gereformeerd mengutus Dr. W.L.
Vogelesang sebagai dokter utusan dengan tugas membuka pelayanan rumah sakit di
kota Surakarta. Tugas itu dilaksanakan dengan membuka sebuah rumah sakit kecil
dengan kapasitas 100 tempat tidur di kampung Jebres. Lewat pelayan rumah sakit
ini, nama Kristus dan kasih pelayanannya makin sering didengar dan dirasakan
oleh masyarakat kota Surakarta. Dengan demikian sangat membantu pekabaran
Injil.
Zending
kemudian mengutus pdt. HA Van Andel untuk menjadi misionaris di
Surakarta. Mula-mula ia menikah di Yogyakarta dengan suster J.C.Rutgers yang
menjadi juru rawat di rumah sakit Petronella
(sekarang rumah sakit Bethesda). Setelah itu mereka pindah ke Surakarta. Pada 1
Nopember 1912,dia turut meresmikan rumah sakit di Jebres Solo.
Pada tahun 1915, Zending Surakarta telah mempunyai 5 orang Guru Injil (yaitu tenaga
yang diangkat dan digaji oleh Zending
untuk memberitakan Injil). Adapun Guru-guru Injil waktu adalah Stefanus Arun, Eliezer, Yerobeam, Yokanan
dan Martorejo; sedangkan penyebar Injil melalui penjualan buku ditangani oleh 4
orang kolportir (penjual buku
keliling) yaitu Mangunharjo, Kartapangarsa, Dutokaryono dan Kartodikromo. Ada juga Raden Nganten Tjitrawasna dari
kalangan bngsawan yang ikut dalam penyebaran Injil.Pada waktu itu
penyebaran Injil dilaksanakan secara langsung oleh para Guru Injil, dengan
penjualan buku-buku Kristen dan majalah Kristen, melalui sekolah Kristen dan
guru-gurunya, dan melalui rumah sakit Kristen.
![]() |
Pelayanan kolportase sebagai sarana PI |
![]() |
Majalah-majalah siap dikirimkan |
Sesuai
dengan strategi penginjilan Zending
yang berbasis di perkotaan lalu bergerak ke pedesaan, Dr. Van Andel dan guru
Injil Stefanus Arun melakukan gerakan penginjilan ke luar kota. Mula-mula ke
arah barat yaitu Klaten dan sekitarnya. Pada tahun 1917, guru Injil Martaredja
ditempatkan di Pedan. Sejak itu di Pedan, Klaten kota, Wedi, dan Delanggu
tumbuh kelompok-kelompok kecil orang Kristen.
Memasuki
tahun 1923, Solo telah bersinar dengan buah-buah penginjilan. Tercatat ada 632 jiwa terpanggil mengikut
Yesus, yang 84 di antaranya beretnis Tionghoa. Kolportase berjalan lancar.
Mereka menerbitkan majalah berbahasa Jawa “Mardi Raharja”dengan oplag 19 ribu
eksemplar. Belum lagi bacaan berbahasa Melayu dan Belanda yang ada di
perpustakaan. Semuanya ini menjadi sarana penginjilan yang ampuh.
Pegawai
penerbit majalah “Mardi Raharja” berfoto bersama pdt. Van Andel dan isteri
Pekerjaan penyebaran Injil makin nyata dan
teratur, maka dipandang perlu adanya Majelis Gereja. Pada tanggal 30 April 1916
berdirilah Majelis Gereja Kristen Jawa Margoyudan Surakarta; sedangkan
sidang-sidang Majelis dipimpin oleh Pdt. H.A. Van Andel sendiri. Karena hubungan
Pdt. H.A. Van Andel dengan pemerintah Mangkunegaran sangat baik, maka dalam
melaksanakan Pekabaran Injil beliau tidak mengalami hambatan-hambatan yang
berarti. Bahkan tugas itu lebih pesat setelah beliau mendapat izin untuk
mendirikan sekolah-sekolah Kristen, antara lain Tweede dari Yogyakarta dan Tingkir.
Untuk mempermudah pelayanan di bidang pendidikan,
pendeta Van Andel mendirikan perkumpulan “Vereniging tot Oprichting
enInstandhoyding van Christelyke Schoolen en Internaten te Surakarta”
(Perhimpunan Pendidikan Kristen di Surakarta)yangdirapatkan pada tanggal 25
Juli 1916 di Surakarta.
Mereka membuka sekolah yang terdiri dari 3 jenis
yaitu: HJS (Hollandsch Javaansche School)
untuk orang Jawa, ELS (Europesche Lagere
School) untuk keturunan Belanda, dan HCS (Malaische Hollandsch Chineesche School) untuk warga Tionghoa. Di Klaten, didirikan satu HJS. Pelayanan di
bidang pendidikan ini ternyata sangat efektif untuk menyebarkan Injil. Sejumlah
orang Jawa dan Tionghoa akhirnya memberikan diri untuk dibaptis. Orang Jawa dan
Tionghoa ini kemudian bersama-sama beribadah di Gereja Kristen Jawa (GKJ)
Margoyudan, Solo. Bahkan pada masa itu ada seorang Tionghoa, yang bernama Sie
Siauw Tjong, diangkat sebagai penatua di GKJ Margoyudan.
Dengan semakin banyaknya orang Tionghoa menjadi
Kristen, mulailah timbul masalah bahasa. Orang-orang Tionghoa pada umumnya
tidak fasih berbahasa Jawa kromo
(tingkat tinggi). Mereka lebih mengenal bahasa Jawa ngoko (sehari-hari). Oleh karena itu sejak tahun 1925, MaleisZendingwerk mulai mengarahkan
pemberitaan Injil kepada orang-orang Tionghoa dengan menggunakan bahasa Melayu.
Pelayanan ini melahirkan gereja Kie Tok Kauw Hwee atau yang sekarang dikenal
sebagai GKI Sangkrah.
Berikut ini nama –nama misionaris yang diutus ke
wilayah Solo
Andel, H.A. van (1912-1942)
Pos, A. (1921-1922)
Eijk, P.H. van (1925-1939)
Bavinck, J.H. (1929-1934)
Kuiper, G.D. (1933-1943, 1951-1956)
Zuidema, S.U. (1937-1943)
Keluarga Dr. H.A. van Andel