Mulai tahun 1978 sampai sekarang, tiap-tiap tahun
dibuat Buku Laporan Tahunan kepada jemaat GKI Klaten sebagai pertanggungjawaban
majelis.
Perkembangan pelayanan jemaatmaju dengan pesat,
sehingga dirasakan perlu menambah seorang pengerja. Oleh karena itu, tanggal 12
Desember 1980 majelis memanggil saudara Purboyo Wiryawan Susilaradeya, STh
untuk orientasi, yang selanjutnya menjadi Pengerja GKI Klaten. Pungki, demikian
nama panggilannya, sangat banyak membantu di bidang pengorganisasian gereja.
Dari karyanya tercipta suatu struktur organisasi gereja yang baru, yang lebih
terperinci, lebih luas jangkauan pelayanannya, lebih efektif dan praktis, yaitu
adanya pembidangan majelis:
Bidang I: Bidang Kesaksian Pelayanan
Bidang II: Bidang Persekutuan dan lbadah
Bidang III: Bidang Pembinaan
Bidang IV: Bidang Penatalayan.
Sebagaimana
layaknya lulusan baru, sang calon pendeta, Purboyo, punya banyak sekali
idealisme dan gagasan bagi jemaat GKI Klaten. Salah satu di antaranya adalah
menyelenggarakan “bulan pelayanan”. Tujuannya adalah memotivasikan warga jemaat
untuk secara bersama maupun sendiri-sendiri menjalankan tugas panggilan
pelayanannya bagi sesama.
Majelis Jemaat
menyambut baik gagasan itu, seraya tidak lupa mengingatkannya untuk lebih
realistis. Keputusannya adalah alih-alih “bulan pelayanan”, GKI Klaten akan
menyelenggarakan, bila memungkinkan setiap tahun, “pekan pelayanan”. Di samping
berbagai kegiatan pelayanan misalnya pendirian seksi bea-siswa dan perkunjungan
ke panti werda. Salah satu kegiatan unggulan dalam “pekan pelayanan” GKI Klaten
waktu itu adalah aksi donor darah.
Untuk itu panitia
dibantu oleh seorang Tua-tua, bapak Soekamto, seorang mantri, yang biasa
dipanggil Pak Kamto. Beliaulah yang berjasa menghubungkan Palang Merah setempat
dengan panitia. Sehingga akhirnya disepakati bahwa aksi donor darah itu akan
dilaksanakan pada hari Minggu pembukaan “pekan pelayanan” GKI Klaten. Dan sejak
itu dalam rapat rutin panitia rencana aksi donor darah itu selalu dibicarakan.
Dengan makin
mendekatnya hari Minggu pembukaan “pekan pelayanan”, makin mendesaklah upaya
untuk mendapatkan cukup orang yang bersedia menjadi donor. Pihak Palang Merah
sudah mengisyaratkan bahwa mereka akan datang bila setidaknya terdapat 15-20
orang donor.
Seminggu sebelum
hari H, jumlah calon donor baru mencapai 14 orang. Tiba-tiba Pak Kamto dengan
santainya berkomentar: “Lha kita sendiri yang duduk di panitia ya harus memberi
contoh jadi donor, dong” Ia berhenti sejenak, berdehem, lalu melihat kepada
saya. “Calon pendeta kita juga toh?”
Purboyo agak
terkesiap. Dia belum pernah menjadi donor. Dia agak ngeri membayangkan jarum yang begitu besar yang akan ditancapkan di
lengannya. “Akan cukup kuatkah saya? Tidakkah saya akan pingsan?” batin Pungki
dengan gelisah.
“Bagaimana saudara
Purboyo?” Pak Kamto kembali bertanya.
Segenap anggota
panitia turut memandang kepada Pungki.
“Ya, baiklah.
Anggota panitia yang lain juga kan?” jawabnya dengan suara yang sama sekali
tidak meyakinkan.
Dan begitulah.
Berkat Pak Kamto yang menurut warga jemaat GKI Klaten memang biasa
“ceplas-ceplos” itu, para anggota panitia termasuk Purboyo, turut menjadi
donor. Dan aksi donor darah itu berhasil dengan baik. Kalau tidak salah waktu
itu sekitar 40 orang yang memberikan darahnya.
Purboyo Wiryawan
Susilaradeya, STh mengakhiri tugas pelayanannya di GKI Klaten pada tanggal 28
April 1983Melayani selama sekitar tiga tahun di GKI Klaten ternyata
meninggalkan kesan yang mendalam.
Purboyo mengingat
pengalaman saat merayakan Natal di Bakal Jemaat Pesu. Sejak jam 15.15 mereka seharusnya
sudah berkumpul di gedung gereja GKI Klaten, karena berencana untuk selambatnya
berangkat ke Pesu-Wedi pada jam 15.30 untuk merayakan Natal bersama jemaat di
situ pada jam 17.00. Beberapa penatua sudah hadir, termasuk Purboyo yang harus memimpin kebaktian. Akan tetapi
beberapa guru Sekolah Minggu yang akan bercerita kepada anak-anak, dan pemimpin
paduan suara belum datang termasuk banyak anggotanya. Mereka terhalang oleh
hujan turun sejak jam 15.00 dengan derasnya bak dicurahkan dari langit yang gelap
disertai angin kencang.
Pukul 16.40
kecuali seorang guru Sekolah Minggu, mereka yang ditunggu-tunggu belum juga
datang sehingga mereka memutuskan untuk berangkat, di bawah curah hujan
yang masih amat deras.
“Jangan khawatir
Purboyo, dengan hujan yang seperti ini jemaat Pesu pasti terlambat juga,” ujar
seorang penatua menghibur.
Rombongan yang
tidak lengkap tiba di tempat kebaktian setengah jam terlambat. Dan dengan
takjub mereka menyaksikan tempat kebaktian yang penuh sesak.
“Mereka sudah
hampir satu jam berada di sini,” kata salah seorang warga di situ.
Mendengar
penjelasan ini mereka memutuskan untuk langsung memulai kebaktian, sambil
berharap bahwa mereka yang tertinggal akan tiba belakangan. Dengan perasaan
yang kurang mantap Purboyo memulai kebaktian. Giliran paduan suara tampil, maka
dilewatkan karena mereka sangat tidak lengkap. Giliran cerita anak-anak juga
terpaksa tidak dilaksanakan karena satu-satunya guru Sekolah Minggu yang hadir
tidak berani dan tidak siap untuk bercerita. Maka tibalah giliran Purboyo untuk
menyampaikan firman.
Entah bagaimana
tiba-tiba dia mendapatkan gagasan untuk mengundang beberapa anggota paduan
suara dan guru Sekolah Minggu yang hadir untuk maju ke depan. Ternyata, para
anggota paduan suara yang hadir, cukup lantang bernyanyi dan mampu mempengaruhi
jemaat untuk ikut menyanyi, bahkan mengajarkan jemaat menyanyikan beberapa lagu
Natal. Ternyata guru Sekolah Minggu yang tidak siap untuk bercerita, mempunyai
persediaan cerita Natal yang walau tidak sesuai tema, amat dinikmati oleh
anak-anak yang hadir.
“Ternyata, dengan
apa yang ada, kami tetap dapat merayakan Natal dengan meriah malam itu,” kata
Pungki mengenang peristiwa itu.
Pengalaman lain yang cukup berkesan adalah memulai kebaktian khusus hari
kemerdekaan pada tahun 1981. Pada awalnya ide ini ditolak oleh Majelis Jemaat.
Alasannya karena urusan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah urusan gereja.
“Coba Anda
bayangkan Purboyo: Apakah kita lalu harus menyanyikan “Indonesia Raya” dalam
kebaktian? Dan mengibarkan bendera di gedung gereja?” sergah seorang penatua.
“Mengapa tidak?”
tanya Purboyo penasaran yang disambut dengan senyum penuh arti yang makna utamanya
adalah ketidaksetujuan.
Keesokan harinya
Purboyo bertemu
di jalan dengan seorang pendeta GKJ bersama istrinya. Keduanya
adalah kakak kelas Purboyo di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Di antara obrolan
mereka yang seru terutama yang menyangkut masa kuliah, sempat dia ceritakan
gagasan kebaktian merayakan kemerdekaan Republik Indonesia itu.
“Beberapa tahun
yang lalu gereja-gereja Klaten, termasuk gereja Katolik, pernah berencana
menyelenggarakannya. Tetapi entah mengapa rencana itu tidak terlaksana” kata
pendeta GKJ itu.
“Bagaimana kalau
kita hidupkan lagi rencana itu?” seruPurboyo penuh harapan.
“Coba aku jajagi
bersama rekan-rekan yang lain. Kalau jadi kamu mau turut dalam kepanitiaannya
kan?”
“Beres!”
Harapannya
ternyata tidak sia-sia. Semua pendeta bersama jemaat mereka di kota Klaten dan
sekitarnya, termasuk para pastor Katolik, bersedia berpartisipasi dalam
kebaktian bersama merayakan kemerdekaan Indonesia. Majelis Jemaat Klaten akhirnya
menyetujui keikutsertaan GKI Klaten dalam kebaktian itu.
Agar tidak
mengganggu acara masing-masing anggota jemaat, kebaktian diadakan pada tanggal
18 Agustus sore. Penyelenggaraannya dilakukan di gedung gereja yang paling
besar di Klaten, yaitu di gedung gereja Katolik Maria
Assumpta. Di
samping kanan altar berdiri sebuah payung kencana, lambang pengayoman dalam
tradisi Jawa. Dan di samping kiri altar berkibar sang Merah Putih.
***
Mulai tahun 1981, GKI Klaten memberi nama tiap
tahun dengan tema tertentu. Maksudnya agar mereka lebih mudah mengarahkan kegiatan
pada tujuan pelayanan jemaat.
Tahun 1981: Tahun Kemenangan
Pada tanggal 29 Maret 1981 dibuka Pos Pekabaran
Injil (Pos PI) di Prambanan. Kebaktian menumpang di rumah dr. Sugiharto Wibowo
(dokter yang bertugas di Panti Waluyo, cabang Prambanan). Di Pesu, Wedi, juga
dibuka Pos PI pada tangal 26 April 1981. Kebaktian menggunakan rumah yang
dikontrak dari salah seorang anggota
Tahun 1982: Tahun Kelimpahan
Dalam tahun ini GKI Klaten mendapat persembahan
dua bidang tanah yang terletak di:
Jl. Pemuda Selatan 74, Klaten (SD Kristen III)
Jl. Rujak Senthe, Klaten.
Tahun 1983: Tahun Pengucapan Syukur
Dalam tahun ini GKI Klaten dapat menyelesaikan pembangunan
ruangan untuk TK Kristen KRIDAWITA yang terletak di Jl. Pemuda Selatan 74,
Klaten (Satu lokasi dengan SD Kristen III).
Tahun 1984: Tahun Sukacita
Pada tahun ini GKI Klaten mendapat anugerah
sebidang tanah di JI.Seruni 10, dan digunakan untuk SD Kristen III & TK
Kristen KRIDAWITA.
Tahun 1985: Tahun Anugerah
Pada tanggal 9 September 1985, GKI Klaten menambah
satu Pos PI lagi yaitu di Mireng, Trucuk, Klaten.
Tahun 1986: Tahun Pengabulan Doa
Pada tanggal 14 Agustus 1986, majelis memanggil
saudara Drs. Sugeng Daryadi Adi Saputra untuk orientasi di GKI Klaten.
Pada tanggal 23 Desember 1986 diresmikan
penggunaan gedung gereja Bakal Jemaat (Bajem) Prambanan.
Tahun 1987: Tahun Ketaatan Dan Berkat
Tanggal 14 Maret 1987, saudara Drs. Sugeng Daryadi
diangkat sebagai Tua-tua Khusus.
Tanggal 27 Mei 1987 GKI Klaten mendirikan sebuah
yayasan yang diberi nama Yayasan NARWASTU. Tanggal 23 Desember 1987 penggunaan
gedung gereja Bajem Mireng diresmikan.
Tahun 1988:Tahun Pengembangan
Dalam tahun ini GKI Klaten mengalami pengembangan.
Pelayanan GKI Klaten berkembang lagi dengan dimulainya Pos PI Karangri. Tanggal
24 Oktober 1988 dimulai pemugaran gedung gereja.