Menetas Menjadi Gereja Dewasa
Di ruang belakang gereja, ibu-ibu sedang menyiapkan
konsumsi untuk acara pendewasaan GKI Klaten. Tampak dalam foto adalah Ibu Liong
Wan, ibu Kwie Tik, ibu Boen Djay, ibu David, ibu Kian Nio, ibu Tiong Liat
Pada bulan April 1966, Tjan Poen Ong, STh dan istri ikut terlibat
dalam pelayanan di GKI Klaten. Tjan Poen Ong ditetapkan sebagai pengerja GKI
Klaten pada tanggal 1 Mei 1966.
Setelah peristiwa
kelam melanda bangsa Indonesia dan masyarakat kota Solo (peristiwa G30S dan
banjir besar), akhirnya cabang Klaten ini dapat didewasakan. Cabang ini menjadi
dewasa setelah melalui pemeliharaan selama kurang lebih 30 tahun dari GKI
Sangkrah. Dan pada Kamis, 30 Maret 1967 secara resmi menjadi GKI Klaten. Karena
klasis Yogya semakin bertambah jumlah jemaatnya, maka klasis Yogya kemudian
mengalami pemekaran menjadi 2 klasis yaitu klasis Yogya dan klasis Solo. Dan
GKI Klaten kemudian dimasukkan ke dalam bagian dari klasis Yogya. Dengan demikian,
GKI Klaten menjadi gereja yang ke-5 di Klasis Yogya..
Tiga bulan kemudian, tepatnya tanggal 30 Juni
1967, saudara Tjan Poen Ong, STh ditahbiskan menjadi pendeta GKI Klaten yang
pertama. Penahbisan diselenggarakan di gedung GKJ Klaseman Klaten karena gedung
GKI Klaten tidak mampu untuk menampung jemaat dan tamu undangan.
Hadir dalam upacara itu: 24 pendeta, rombongan
paduan suara dari Magelang, Yogyakarta, Sangkrah Solo, Coyudan Solo, Wonogiri,
dan anggota jemaat gereja-gereja di Klaten, serta pejabat pemerintah.
Penahbisan pdt. J. Widyanto, STh. tanggal 30 Juni 1967 di GKJ Klaseman
Tamu undangan yang hadir pada penahbisan pdt. J. Widyanto, STh. tanggal 30 Juni 1967 di GKJ Klaseman
Pada tahun-tahun awal setelah didewasakan, belum
terdapat komisi-komisi. Belum banyak kegiatan pada saat itu. Selain ibadah
Minggu, kegiatan gereja berupa katekisasi yang diikuti oleh anak-anak muda.
Berdasarkan ingatan pdt. Yeremia Widyanto, peserta katekisasi angkatan pertama
diikuti oleh anak-anak dari Kwee Tiek, Liem King Han (kakak King Hien) dkk. Sementara untuk pembinaan
anak-anak sudah diselenggarakan Sekolah Minggu. Kegiatan paduan suara sudah
aktif. David Chrisnanta Chandra,
selepas keluar dari tahanan, aktif melatih paduan suara ini. Bahkan pdt.
Yeremia sendiri pernah memimpin paduan suara Natal dengan berkeliling (semacam
Christmas Carol). Mereka menyanyikan lagu dari berbagai macam negara.
Saat baru saja didewasakan, jumlah anggota jemaat
belum banyak. Jumlahnya baru sekitar 50 orang. Jemaat yang aktif dalam kegiatan
gereja adalah para pemuda dan ibu-ibu. Para pemuda itu di antaranya adalah Bwa
Mei Ing, Tan Hauw Djie,Tan Mei In, dan Tan Mei Lian
Ada satu pemuda yang cukup aktif di kegiatan
kepemudaan, namun dia belum dibaptis. Namanya David Chrisnanta Chandra. Dia sudah pernah mengikuti tiga katekisasi yang dibimbing oleh
tiga pendeta berbeda (pdt. The Tjauw Bian, pdt. Tan Tjoe Liang, dan pdt. Oei
Djie Kong), namun tidak pernah menyelesaikan katekisasi. Hingga akhirnya pdt. Yeremia memutuskan
menjadikan rumah David sebagai tempat katekisasi. Keputusan ini membuat David mau tak mau mengikuti katekisasi
hingga selesai. David dan isteri akhirnya memberi diri untuk dibaptis.
Namun terjadi peristiwa yang menyedihkan menjelang
hari pembaptisan. Tina, anak pertama David, meninggal di RS Bethesda. Pada saat memimpin upacara pemakaman, pdt.
Yeremia sampai kesulitan berbicara karena hatinya merasa sangat terharu.
Kemudian, ada majelis yang meneruskan doa syafaat sehingga pdt. Yeremia dapat menenangkan diri
kembali. Meski dalam keadaan berkabung, hal itu tidak menyurutkan niat David
untuk menerima sakramen baptis. Beberapa tahun kemudian, David dikaruniai dua
anak lagi. David masih sesekali melatih paduan suara dan terlibat dalam
pementasan drama kolosal.
Saat melayani di GKI Klaten, pdt. Yeremia
menempati pastori di gang Cepit. Setelah itu, tante Liem Kok Sing (Toko Som)
merelakan rumahnya yang berada di jalan Bhayangkara no 109 untuk dijadikan
pastori. Hal ini terjadi pada tahun 1963. Sebagai gantinya, gereja memberikan
emas sebanyak 2 kg yang diberikan secara bertahap, sesuai dengan persembahan
jemaat yang dapat dikumpulkan. Sebagai gambaran, harga emas saat buku ini
ditulis adalah sekitar Rp. 500.000,- per gram. Dengan demikian, 2 kg emas pada
saat ini senilai Rp. 1 Milyar. Pada
tahun 1976 rumah pastori menjadi milik sah GKI Klaten.
Perpisahan dengan Ny. Liem Kok Sing, yang rumahnya kini
menjadi Pastori I (Jl. Bhayangkara).
Pada masa pelayanan pdt. Yeremia ini untuk pertama
kalinya dilaksanakan renovasi gereja. Sebelumnya, belakang mimbar terdapat ruang konsistori.
Untuk perluasan tempat ibadah, maka tembok pemisah dijebol sehingga posisi
mimbar dapat digeser ke arah bekas ruangan konsistori. Untuk ruangan konsistori
dipindahkan ke tempat lain.
Selain itu, majelis juga membuat pagar tembok dan
pintu besi yang membatasi gedung gereja, dan juga membuat ruangan di belakang
gedung gereja. Ruangan ini
dipersiapkan sebagai rumah pastori (di kemudian hari menjadi tempat
tinggal saudari Lily Dwi Aryani).
Di bawah bimbingan pdt. Tjan Poen Ong, STh (J.
Widyanto, STh.), semua aktivitas GKI Klaten semakin berkembang dan pengunjung
kebaktian bertambah banyak. Gedung gereja terasa semakin sempit, sebagai tempat
ibadah maupun kegiatan lainnya. Untuk memperbesar ruangan, maka tembok penyekat
di dalam gedung gereja dibongkar dan letak mimbar dimundurkan. Kemudian
dibangun juga ruangan di halaman samping selatan gereja yang dapat digunakan
untuk berbagai aktivitas. Perubahan dan penambahan ruangan tersebut
dilaksanakan dalam tahun 1967.
Adapun para penatua GKI Klaten yang pertama ialah :
Sdr. Tjan Poen Ong S.Th. ( J.Widyanto S.Th).
Sdr Siem Dhiam Ling (Simon Santosa)
Sdr, Tan Boen Tjwan (Andreas Budiman)
Sdr. Tan Kwie Tik (Markus Tanudiryo)
Sdr. David Ang Tik Chu (David Chrisnanta Chandra)
Sedangkan para diaken meliputi:
Sdri Yoe Soen Kio
Sdri Tjioe Poo Kiok
Sdr Oei Liang Wan (Jusuf Setiawan)
Sdr. Tan Kwie Koen (Matias Koentoro)
Sdr.Sie Hway Tiong(Lukas Hartono-sekarang menjadi
dokter di Magelang)
***
Pada tanggal 15 Mei 1969, KPGKI Klaten ditunjuk
sebagai penyelenggara Festival Paduan Suara Gerejani Pertama. Fesparani ini
diikuti oleh semua komisi pemuda se-Klasis Yogyakarta.
Tugas pdt. J. Widyanto STh bertambah banyak
sehingga perlu tambahan seorang pengerja. Oleh karena itu, pada tangggal 1 Juli
1973, saudari Lily Dwi Aryani, yang telah menamatkan pendidikannya di SPWK
Magelang, diangkat sebagai Pengerja GKI Klaten. Tugas utamanya adalah
membimbing guru-guru Sekolah Minggu.
Hanya satu tahun GKI Klaten dilayani oleh 2 orang
pengerja, sebab pada Juli 1974, pdt.
J. Widyanto STh menerima panggilan untuk menjadi gembala jemaat GKI Ngupasan
Yogyakarta. Meskipun begitu, beliau masih bersedia menjadi pendeta konsulen dan
memberikan pelayanan sakramen. Tetapi kemudian karena kesibukannya di
Yogyakarta, beliau tidak sanggup melanjutkan tugasnya di Klaten lagi, sehingga
kemudian jabatannya sebagai pendeta konsulen digantikan oleh Pdt. Hadinugraha
dari GKI Nusukan Solo.
Saat melayani di
Klaten, pdt. J. Widyanto masih mengingat pengalaman berkesan pada tahun 1973.Saat
itu, dia bersama dengan saudara Soehardjo bersama-sama menjadi anggota Depker klasis
Yogyakarta (sekarang bernama Badan Pekerja Majelis Klasis). Mereka melakukan
pelawatan Klasis ke Solo.
Berangkat dari
Klaten pukul 15.00 WIB, dengan naik bis menuju GKI Coyudan Solo. Dari Coyudan,
dengan menumpang mobil di sana, mereka memulai pelawatan ke GKI Masaran, GKI
Nusukan, dan terakhir ke GKI Coyudan. Selesai pelawatan, mereka langsung
diantar dengan mobil menuju ke terminal bis Purwosari.
Sesampai di sana,
karena sudah sangat larut, sudah tidak ada kendaraan umum yang menuju Klaten.
Setelah menunggu sekitar dua jam, akhirnya ada truk memuat kayu jati yang
menuju Klaten.
Sang sopir yang
baik hati menawarkan jasa tumpangan, tapi harus duduk di atas gelondongan kayu
jati, sebab bak depan sudah penuh dengan penumpang. Dan lagi mobil itu hanya
sampai di Plembon, Ketandan, Klaten.
Pikir punya pikir
dari pada tidak mendapat kendaraan dan harus menginap di Solo, mereka menerima
tawaran. Truk berangkat dari Purwosari pukul 02.00 WIB, sampai di Plembon,
Ketandan pukul 03.00 pagi. Karena waktu itu belum banyak kendaraan maupun becak
(tidak seramai sekarang), maka mereka terpaksa menempuh sisa perjalanan pulang
dengan berjalan kaki. Sampai di Klaten, matahari sudah terbit. Keterbatasan
keadaan tak menyurutkan semangat untuk melayani Tuhan.
***
Paduan
suara remaja
Permainan
di Sekolah Minggu
Perayaan
Natal Sekolah Minggu
Fashion
show
Para Guru Sekolah Minggu tahun 1972
Pada tanggal 1 Juli 1977, saudari Lily Dwi Aryani
mengakhiri pelayanannya di GKI Klaten karena menerima panggilan dari GKI
Pekalongan. Hal ini menyebabkan kekosongan pengerja di GKI Klaten.
Pdt.
Iwan Kosasih
Setelah kekosongan pendeta kurang lebih tiga tahun
lamanya, jemaat merindukan kehadiran seorang pendeta, agar dapat menggembalakan
jemaat dengan baik. Jemaat terdorong untuk banyak berdoa memohon hal ini.
Dengan anugerah Tuhan yang besar, GKI Klaten kembali mendapatkan seorang calon
Pendeta. Tanggal 1 Juni 1977, Iwan Kristanto Kosasih, BTh dan istri datang dari
GKI Lasem. Beliau menerima panggilan jemaat GKI Klaten untuk menjadi calon
Pendeta. Tanggal 26 Juni 1977 beliau diangkat sebagai Tua-tua Khusus, dan pada
12 September 1979 ditahbiskan menjadi Pendeta GKI Klaten yang kedua. Penahbisan
dilaksanakan di gedung GKJ Klaseman Klaten.
Dengan kehadiran pendeta, aktivitas di GKI Klaten
yang lamban selama kekosongan pendeta, menjadi giat kembali. Pdt. Iwan banyak
memberikan pengarahan dan bimbingan kepada jemaat untuk berani berdoa dan rajin
membaca Alkitab. Perkunjungan juga dilakukan untuk menarik jiwa-jiwa baru. Dia juga
mendorong aktivitas pemahaman Alkitab dan bidston. Kelompok katekisasi juga
ditambah dengan kelompok baru.
Pada bulan Desember 1977, GKI Klaten mengadakan aksi
sosial, bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Klaten, berkenaan dengan
bencana alam angin taufan yang melanda daerah kecamatan Cawas. Aksi sosial itu
berupa bantuan beras sebanyak 1,5 ton, yang dikumpulkan dari masyarakat kota
Klaten. Beras tersebut dibagikan langsung kepada penduduk 5 desa yang terkena
musibah.