Menetas Menjadi Bakal Jemaat GKI Klaten
Sejak saat itu KTKH cabang Klaten mulai menempati
gedung gereja Jago atau staat-kerk.
Pada masa Clash (tahun 1948 - 1949)
pelayanan masih terus dilakukan oleh Tan Poo Djwan. Ada pun alat
transportasinya menggunakan kereta api atau menumpang konvoi Belanda yang
sedang mengambil bahan logistik. Banyak pengalaman yang menarik ketika “nunut”
konvoi Belanda ini. Seperti dicegat pasukan gerilya Republik Indonesia di
tengah jalan, terkena jam malam sesampainya di Solo, sehingga harus menginap di
pasturan Purbayan, dan lain sebagainya.
Ada satu pengalaman yang sulit dilupakan oleh Tan
Poo Djwan. Seusai beliau memimpin kebaktian kedukaan salah seorang anggota
keluarga bapak Hutagalung, ia kemudian melanjutkan pelayanan ke kuburan dengan
naik mobil yang biasa ditumpangi oleh Wakil Presiden RI Drs. Mohammad Hatta.
Mobil bermerek De Soto ini
dipinjamkan kepada bapak Hutagalung. Sepanjang perjalanan, orang-orang yang
melihatnya, baik itu sipil maupun militer, banyak yang memberi hormat. Mereka
mengira penumpang yang di dalam mobil itu adalah Wakil Presiden!
![]() |
Mobil dinas milik wakil presiden, Mohammad Hatta |
Sampai dengan tahun 1950-an, situasi/keberadaan
jemaat boleh dikatakan tidak banyak berubah. Hanya saja transportasi sudah
lebih aman, kereta api sudah berjalan normal. Tan Poo Djwan masih dengan setia
melayani kebaktian Minggu maupun katekisasi dengan penuh semangat.
Pelan-pelan tapi pasti jemaat Klaten mulai
berkembang. Pada tahun 1954 pelayanan Tan Poo Djwan di Solo berakhir karena
beliau bertukar tempat dengan Liem Ping Siang dari GKI Pekalongan. Dengan
demikian pelayanan beliau di Klaten juga berakhir. Kemudian tahun 1954, Liem
Ping Siang yang menggantikan melayani di Klaten. Dia memimpin katekisasi dan
juga kebaktian hari Minggu sampai tahun 1955.
****
Badan Zending dari Gereja-gereja Gereformed Negeri Belanda bekerja di
Jawa Tengah bagian selatan menghasilkan jemaat di Solo dan di Yogyakarta.
Kemudian di Jawa Tengah bagian utara ada badan zending dari Jerman, yaitu Neukirchener Missionshaus yang disebut
juga dengan Salatiga Zending. Badan-badan zending tersebut menghasilkan
gereja-gereja setempat yang beranggotakan keturunan Tionghoa. Dengan
bermacam-macam nama : Kie Tok Kauw Hwee, Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee, Hoa Kiauw
Kie Tok Kauw Hwee, dll.
Pada masa Jepang, pekabaran Injil kepada
orang-orang Tionghoa di Jawa Tengah mengalami perkembangan yang lumayan.
Terbentuk THKTKH di Salatiga, Temanggung dan Purbalingga. Kemudian
gereja-gereja setempat di Jawa Tengah bagian Utara membentuk Klasis. Demikian
juga yang di bagian selatan membentuk klasis Jogja.
Pada tanggal 7-8 Agustus 1945, dua klasis ini
bersidang di gedung Hoa Kiauw Kie Tok Kauw Hwee, Magelang. Mereka sepakat
membentuk sinode Tionghoa. Kemudian dalam sidang tersebut dan sidang yang
selanjutnya, diatur pembagian Klasis. Pada sekitar tahun 1945, terdapat 14
jemaat.
Pada tahun 1949, kembali diadakan sidang Sinode II
di gedung Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee, Semarang. Pada persidangan ini,
dicantumkan nama sinode Tionghoa Jawa Tengah, yang kemudian diperingati sebagai
tanggal lahir GKI Jateng.
Pada tahun 1950 ada 2 peristiwa penting:
(1). Persidangan Sinode III mengesahkan Peraturan
Gereja Sinode Gereja-gereja Tionghoa Jawa Tengah (ini sebenarnya milik Kerkeordening van de Gereformeerde Kerkeen
in Nederland). Pada 5 tahun sebelumnya hanya menggunakan dasar sinode yang
berbunyi: “Synode mengalaskan pengakuan pertjaja atas Kitab Sutji, Perjanjian
Lama dan Baru sebagai Firman Tuhan dan 12 pengakuan kepertjajaan seturut
keterangan Catechismus Heidelberg, sedang aturan geredja didasarkan atas bentuk
pemerintahan gereja presbyterial.” (2). Sinode Gereja Tionghoa Jawa Tengah, ikut
berperan serta dalam pendirian DGI.
Persidangan Sinode V pada tanggal 17-20 September
1956, mengganti nama menjadi Gereja Kristen Indonesia. Alasannya adalah karena
banyak anggota gereja yang sudah memutuskan untuk menjadi warga negara
Indonesia, dan karena bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia.
Gereja yang tadinya bernama Kie Tok Kauw Hwee (KTKH),
Tiong Hoa Kie Tok Kauw Tjong Hwee (THKTKH) dan HKTKH, kemudian berganti nama
menjadi Gereja Kristen Indonesia. Sering dengan perubahan ini, maka KTKH Sangkrah
cabang Klaten berubah nama menjadi GKI Sangkrah cabang Klaten.
Pada tahun 1955, GKI Sangkrah, Solo menugaskan
guru Injil bapak Oei Djie Kong (sekarang Pdt. Em. N.E. Jeshua), untuk melayani
di cabang GKI Sangkrah Solo di Klaten. Di samping kebaktian hari Minggu, beliau
juga melayani katekisasi di perumahan dan di gereja yang diikuti oleh pemuda/
pemudi antara 10 sampai 15 orang. Sementara itu, kebaktian hari Minggu dilayani
secara bergantian oleh Pdt. The Tjiauw Bian(Johanes Purwosuwito), pdt. N.E. Jeshua,
dan Majelis GKI Sangkrah Solo.
Ada pengalaman
terlupakan yang dialami oleh pdt. N.E. Jeshua saat melayani di Klaten. Pdt.
Jeshua berangkat dari Solo menuju Klaten pada hari Sabtu siang.
“Di terminal Hardjodaksina Gemblegan, saya
antri untuk membeli karcis,” kenangnya. Pada tahun 1957-1958, angkutan bis
masih sangat sulit sehingga untuk naik bis pun penumpang harus mengantri untuk
membeli karcis. “Selagi antri bersama-sama dengan orang lain, tiba-tiba seorang
Ibu mendekati saya. Dia meminta tolong untuk menitip membeli karcis ke jurusan
Klaten,” tuturnya lagi.
Barangkali karena
udara yang panas dan banyaknya orang di sana, ditambah lagi suasana terminal
yang ramai membuatnya menolak untuk dititipi karcis, kendati jurusannya sama.
Setelah sampai di Klaten, dia segera melaksanakan tugas-tugas pelayanan sampai
malam. Sesudah itu, dia diantar oleh panitia GKI Klaten untuk menginap di rumah
salah seorang anggota jemaat. Saat itu belum ada rumah pastori. Pendeta dari
Solo masih bergiliran di rumah anggota jemaat yang bersedia ditempati.
“Ketika masuk ke
dalam rumah dan diperkenalkan dengan pemilik rumah, betapa kagetnya saya,
karena ternyata pemilik rumah itu adalah ibu yang tadi siang saya tolak ketika
menitip beli karcis di Solo. Untunglah, tampaknya ibu itu lupa dengan wajah
saya tadi siang,” kata pdt. Jeshua.
Baptis dewasa dan anak-anak oleh pdt. The Tjiauw Bian,
tahun 1958
***
Pada tahun 1959, Tuhan berkenan menggerakkan hati
bapak R.M.E. Mangunsusanto, yang waktu itu menjadi pengurus sekolah-sekolah
Kristen di Klaten. Beliau aktif melayani di GKI Sangkrah Solo cabang Klaten
sehingga gereja yang kecil ini tumbuh dengan baik di segala bidang. Tidak
sedikit pengorbanan yang beliau berikan untuk kemajuan dan perkembangan GKI
Klaten dan ini terus dilakukan hingga akhir hayatnya.
Pada tahun 1963, Majelis GKI Sangkrah Solo mengutus
Pdt. Tan Tjoe Liang (Tjahjaputra) ke Klaten dengan tugas khusus untuk
mempersiapkan cabangKlaten di dalam pendewasaannya. Pdt. Tjahjaputra waktu itu
bukan sebagai pendeta konsulen karena waktu itu gereja di Klaten masih
merupakan cabang dari GKI Sangkrah Solo. Setelah Klaten mempunyai pastori,
barulah Pdt. Tjahjaputra dan istri bertugas di Klaten selama 3 hari dalam satu
minggu. Banyak kegiatan dilakukan selama beliau bertugas
Sekolah Minggu maju pesat. Di bawah bimbingan lbu
Tjahjaputra (Ibu Elly Kwik) yang giat bekerja dan penuh suka cita, jumlah murid
Sekolah Minggu mencapai kurang lebih 100 anak. Tahun berikutnya, yaitu pada
tahun 1965, berdirilah Komisi Wanita yang dipelopori oleh ibu Elly Tjahjaputra.
Pdt. Tjahjaputra
punya kesaksian mendapat pertolongan dari Tuhan. Saat melayani bakal jemaat di
Klaten ini. Pada hari Minggu pagi tahun 1959, dia telah berada di terminal bis
Gemblekan Solo. Di hari yang masih sejuk itu, dia mencari kendaraan jurusan
Klaten karena harus memimpin kebaktian di gereja Jago.
Hanya ada satu
kendaraan yang akan berangkat ke Klaten, yaitu taksi. Namun kendaraan tidak
kunjung berangkat karena penumpangnya masih kurang tiga orang. Untuk mengejar
waktu supaya kebaktian tidak terlambat, maka pdt. Tjahjaputra bersedia membayar
tiga kursi kosong itu dengan perjanjian
bila di perjalanan nanti ada tambahan penumpang, maka ongkosnya menjadi
miliknya. Sopir setuju.
Taksi segera
berangkat, kilometer demi kilometer terlampui. Klaten semakin dekat. Tetapi
pada suatu tikungan di daerah Ketandan, tiba-tiba.... ”dooor!” Ban mobil
meletus. Kendaraan jadi oleng, nyaris menabrak pohon dan akhirnya..”bleeeb”,
masuk ke sawah yang agak becek dan berhenti.
Tuhan masih melindungi.
Tidak ada yang cedera. Penduduk sekitar tempat kejadian segera datang memberi
pertolongan. Mobil diangkat dan didorong sampai ke tepi jalan raya. Ban
kemudian diganti, dan taksi bisa melaju sampai tujuan.
Tiba di gereja,
kebaktian tengah berlangsung. Pak Mangunsusanto sedang berkhotbah. pdt.
Tjahjaputra pelan-pelan menyelinap masuk dan duduk di barisan paling belakang
sampai kebaktian selesai. Dia batal berkhotbah pada hari itu.
Baptisan tahun 1958
Kepemudaan merupakan aktivitas yang menonjol pada
era 1950-1960-an ini. Mereka
membentuk Perhimpunan Pemuda GKI (PPGKI), diketuai oleh Tjioe
Kok Sing. Para pemuda yang aktif saat itu adalah Budi Nugroho Sulaiman, Siswo Hadi Utomo,
Aryani (Ko Lian Hwa, Bandung), Aryani (Tjan Djie Kiok, Bandung), Tan Giok Lan (Jakarta), Hwe Tiong (+), Ko
Tien, Tan Mei In (Australia), Tan Hauw Djie (+), Tio Lian Kwie (+), Tan Ruslin,
Tio Tiong Djing (+), Liem King Han, Yong Yu Hap (+), Yauw Liang Tak (+), Tjioe
Kok Sing, Tjioe Kok San, Tan Mei Lan (USA), Tan Hwie Lan (Tandy Atmi), Tan Siang
Lan (Lancy Candra), Poei Biauw Lan (Bu Widodo), Tan Lan Ing (bu Wawan), Siok
Cheng (Bandung), dan Sie Hing Djien. Pada tahun 1962, Paulus Sarjono
(Tjan Thiam Djong +), dan Lazarus
Purwanto (Tjan Dhiam Kak, adik Paulus S) ikut aktif di kepemudaan.
Para pemuda
itu mengadakan kegiatan kerohanian berupa persekutuan, mengajar Sekolah Minggu
dan berlatih paduan suara.Mengajar Sekolah Minggu
di gereja, Perumahan, di rumah
mpek Siem Thiam Ling (sekarang toko Asli Motor), di toko Som (sekarang Toko
Ramai Baru), di rumah mpek Goei Gun
Siong (Kakek dari Agus Mulia)