Kie Tok Kauw Hwee (KTKH) Cabang Klaten
Pada tahun 1943, sudah mulai ada kelompok orang
Kristen yang anggotanya terdiri dari berbagai suku, yaitu Tiong Hoa, Minahasa, Batak,
dan Indo Belanda. Namun
mereka masih berupa kelompok,--menurut istilah sekarang disebut persekutuan.
Tujuan dari kelompok ini adalah untuk bersekutu dan mengabarkan Injil.
Melihat hal ini, bapak Arnold Geldermans,--yaitu
kepala sekolah Christelijke Hollands
Chineese School,--mengusulkan supaya persekutuan ini dihimpun menjadi
sebuah gereja. Usulan ini mendapat sambutan baik. Mereka kemudian menghubungi
Gereja Kie Tok Kauw Hwee (KTKH) Solo (sekarang menjadi GKI Sangkrah) untuk
meminta izin bergabung dengan mereka.
Ternyata permintaan ini disambut dengan baik.
Gereja KTKH Solo tidak keberatan, namun mereka meminta supaya orang-orang
Kristen di Klaten membentuk panitia terlebih dulu. Untuk itu dibentuklah calon
panitia KTKH Klaten dengan anggota: saudara Sie Tjing Kiat, saudara M.A. Londa,
saudara Yoe King Djiang, dan saudari Yoe Soen Nio.
Setelah semua dipersiapkan, maka pada tanggal 9
Mei 1943, KTKH cabang Klaten resmi berdiri. Pada acara ini, sekaligus juga
diadakan pelantikan panitianya. Dengan demikian maka KTKH Klaten resmi menjadi
cabang KTKH Solo. Semenjak itu, KTKH Solo menugaskan seorang Guru Injil untuk
menggembalakan KTKH cabang Klaten secara tetap. Meskipun “tetap”, tetapi
pelayanan penggembalaan dilakukan secara bergantian antara cabang KTKH Solo dan
Klaten. Guru Injil tersebut adalah bapak Tan Poo Djwan, yang sekarang dikenal
dengan Pdt. (em) Paulus Tanoewidjaja (pendeta emeritus di GKI Gereformeerd Semarang). Seminggu sekali
dia bertugas di Klaten dan setiap kedatangannya selalu menginap di Klaten.
Kebetulan beliau mempunyai famili di Klaten yaitu saudara Ong Soen Ham (ayah
dari saudara Witono/Toko Rapi).
Masa itu Indonesia berada di bawah penjajahan
Jepang. Zaman yang serba sulit itu hampir dialami oleh semua bangsa Indonesia,
baik secara ekonomi, sosial, apalagi di bidang hukum. Namun dalam kegiatan
keagamaan, pemerintah pendudukan Jepang boleh dikatakan masih memberikan
kelonggaran. Kendati tidak berjalan terlalu lancar, tetapi kegiatan jemaat KTKH
cabang Klaten masih dapat berlangsung.
Yang tetap setia melayani adalah Tan Poo Djwan
dari Solo. Setiap mengadakan pelayanan, beliau harus menempuh perjalanan
Solo-Klaten dengan mengayuh sepeda, dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Pada
mulanya, masih menggunakan “ban angin” (bagian dalamnya diisi dengan angin).
Akan tetapi ketika ban angin mulai sulit didapatkan, maka terpaksa memakai ban
mati (pasek). Bayangkan, betapa
beratnya mengayuh sepeda menggunakan ban jenis ini. Belum lagi kerepotannya
karena jika kepanasan, ban itu akan memuai (nglokor).
Jika sudah demikian, maka ban karet itu harus dipotong lebih dulu.
Pada waktu itu katekisasi mulai diadakan secara
agak teratur, dipimpin Tan Poo Djwan. Pesertanya mula-mula 8 orang. Kemudian
dalam waktu yang tidak terlalu lama menjadi sekitar 15 orang. Juga mulai
dirintis adanya Sekolah Minggu yang dipimpin saudari Yoe Soen Nio, saudari Yoe
Liok Nio dan saudari Siem Giok Lan.
Satu hal yang paling berkesan dan patut
dikemukakan di sini adalah bahwa pada zaman Jepang, kegiatan pemuda sangat
bergairah, bahkan berhasil mementaskan sebuah drama dengan judul “Shinano Yoru”
di gedung ROXY (sekarang mantan gedung Dana). Pementasan ini adalah hasil kerja
sama antara tokoh-tokoh Tionghoa Klaten, dan sebagai koordinatornya adalah
saudara Goei Kian Sing. Hasil penjualan tiket drama ini digunakan untuk
menyumbang dana bea siswa para pemuda Kristen waktu itu.
Memasuki zaman kemerdekaan, tahun 1945, situasi
banyak berubah. Meski begitu, keadaan masih juga serba sulit. Bahkan karena
alasan keamanan maka sering kali kebaktian Minggu dibatalkan, atau terpaksa
dilakukan penggantian pengkhotbah karena pengkhotbahnya tidak dapat hadir.
Dalam hal ini, saudara M.A. Londa yang paling sering kena sampur (mendapat tugas dadakan) dalam menggantikan khotbah. Pada
tahun ini, kelompok paduan suara mulai tampil lebih baik,
meskipun tahun-tahun sebelumnya sudah ada. Pelayanan di Klaten mengalami
penurunan dan terasa suam. Apalagi situasi keamanan pada saat itu masih tidak
menentu. Ada daerah yang sepenuhnya dikuasai Republik, tapi ada juga yang masih
dikuasai pendudukan Belanda. Hal ini mengakibatkan perkembangan jemaat Kristen
di Klaten tersendat. Tidak hanya Gereja KTKH, tetapi juga Gereja Negara (Indische Protestanche Kerk) yang
bertempat di gereja Jago.
Gereja itu menjadi kosong karena sebagian besar anggota jemaatnya adalah orang
Belanda.
Salah seorang pengurus Gereja Jago, yaitu bapak
Hutagalung kemudian menitipkan kunci gedung gereja Jago tersebut kepada KTKH
cabang Klaten yang diterima oleh saudari Yoe Soen Nio. Proses penyerahan ini
disaksikan oleh pdt. Schutze dan seorang opsir Belanda van Den Berg. Hal itu
terjadi pada tahun 1948.
Ketika itu kondisi gedung gereja Jago sudah tidak
terurus sama sekali. Talang-talang banyak yang bocor. Warna catnya sudah kumal.
Pagar halaman berupa pohon pisang, dadap, aru, petai cina dan kembang sepatu.
Pintu pagarnya terbuat dari ram yang dibuat dari bambu dan hanya cukup untuk
masuk satu orang.