Kebersamaan Para Pemuda
Pada tahun 1964, nama Perhimpunan Pemuda diganti
menjadi Komisi Pemuda Gereja Kristen Indonesia (KPGKI). Atas prakarsa Pendeta
Tan Tjoe Liang, mereka mengadakan retreat bersama para pemuda di
Tawangmangu. Acara dipimpin langsung
oleh para pendeta.
Selain kegiatan yang bersifat kerohanian, mereka
juga menggelar kegiatan olahraga seperti latihan bulutangkis dan basket. Mereka
pernah mengutus 8 orang untuk menghadiri KOPORKES (Konperensi Pekan Olah Raga
dan Kesenian) di Bandung.
Selain aktif di Klaten, KPGKI juga aktif mengikuti
kegiatan klasikal. Misalnya ketika GKI di Yogyakarta mengadakan bazaar, maka
pemuda dari Klaten dan Solo juga diundang. Mereka berangkat dari Klaten dengan
menumpang kereta api uap dengan loko C atau Loko D.
Paduan
suara pemuda
Sepeda
menjadi alat transportasi utama para pemuda
Pada saat itu Joko Sudibyo & Tan King Hien
belum kristen tapi sudah ikut
kegiatan gereja, yaitu olahraga basket. Olahraga ternyata dapat menjadi sarana
Pekabaran Injil. Kontingen GKI Klaten sebenarnya tidak memiliki pemain yang
bagus dan bukan tim yang kuat. Meski begitu, keterbatasan itu tidak menyurutkan semangat untuk berpartisipasi
dalam kegiatan ini. Uniknya, meski dengan kemampuan yang pas-pasan, tim GKI Klaten
mampu mengalahkan tim yang lebih kuat. Ada satu kejadian yang lucu pada
pertandingan catur. Suatu saat, pemain GKI mendapat lawan yang tangguh. Pecatur
lawannya sudah menjuarai berbagai turnamen dan difavoritkan menjadi pemenang.
Pecatur dari Klaten menghadapinya tanpa beban. Seandainya nanti kalah pun,
tidak akan merasa malu. Toh, lawannya
memang hebat. Pecatur GKI Klaten ini menjalankan bidak-bidak catur tanpa banyak
berpikir. Lawannya menjadi kebingungan menebak strategi yang sedang dijalankan
oleh pecatur GKI Klaten, padahal memang tidak punya strategi. Dia asal main
saja. Hal ini membuat lawannya grogi dan akhirnya pecatur GKI Klaten bisa
menang.
Kebersamaan merupakan ciri yang menonjol pada
kegiatan kepemudaan di masa awal berdirinya GKI Klaten. Kegiatan dilakukan
bersama-sama. Misalnya bersama bersepeda ke rowo Jombor atau berenang bersama
di pemandian Jolotundo. Selain itu,
kebersamaan juga terlihat dalam hal saling menolong. Sebagai contoh, alat transportasi
yang digunakan saat itu adalah sepeda. Bila ada pemuda yang tidak punya sepeda,
maka dia dapat membonceng
temannya. Namun karena jumlah sepeda yang terbatas, maka kadangkala ada yang tidak dapat boncengan.
Jalan keluarnya adalah dengan menyewa andong. Mereka mengumpulkan uang untuk
biaya sewa andong. Pemuda yang bersepeda dan membonceng pun ikut menanggung
biaya temannya yang naik andong.
Mereka
juga aktif sebagai Guru Sekolah Minggu. Usai mengajar Sekolah Minggu
mereka biasanya berkumpul di rumah tante Soen (samping gereja jago), setelah
itu jajan gethuk pak Wongso (sekarang toko sepatu Italy) atau soto pak Noyo
(sekarang menjadi bagian dari rumah pastori 2 di gang Widosari). Kegiatan
lainnya adalah latihan paduan suara di rumah Tan Hauw Djie (Kakak Mei In &
Hauw Siang). Biasanya latihan menyanyi ini didahului atau diakhiri dengan memasak dan lotisan bareng.
Saat itu kebaktian diselenggarakan sebanyak dua
kali yaitu pukul 9 dan 17. Pada ibadah sore berupa kebaktian pemuda secara
oikumenis. Ibadah ini dikelola para
pemuda dari GKI, GKJ, dan gereja
Pantekosta. Gagasan untuk mengadakan ibadah secara oikumene ini berasal dari
aktivis pemuda GKJ yang kemudian ditanggapi secara positif oleh pemuda GKI.
Selanjutnya diperluas dengan menggandeng pemuda dari GPdI di Pondok. Ibadah
gabungan ini membuat gedung gereja jago menjadi penuh.
Ibadah masih dalam kesedarhanaan. Kadang tidak ada
yang mengiringi dengan musik. Yang sering menjadi pemimpin pujian adalah Siswo
Hadi Utomo. Sedangkan pembawa firman disampaikan oleh bapak Mangoensoesanto
dari GKJ. Saat itu belum ada sistem deklarasi atau honor untuk pengkhotbah.
Para pemuda dari gereja lain sangat bersemangat mengikuti ibadah ini. Misalnya
pemuda GKJ yang rumahnya jauh, mereka pergi ke gereja dengan mengayuh sepeda.
Jika hujan turun, maka mereka hanya mengenakan celana pendek, kaus sport, caping dan membawa tas. Sesampai di GKI, mereka berganti
baju putih, dasi dan sepatu. Aktivis
pemuda yang berasal dari GKJ di antaranya adalah Sabtyanto,
Atmosarjono, Kasno
Sutjiipto, dan Widodo Ireng (Guru
SMP Kristen). Sedangkan aktivis dari Pantekosta yaitu Sidan.
Sementara itu, dari GKI dimotori oleh Budi Nugroho Sulaiman, Hwe Tiong, Paulus
Sarjono, Tio Tiong Djing dan Heru Wibowo.
***
Pada saat terjadi gejolak politik nasional pada
tahun 1965, wilayah Klaten belum mengalami dampaknya. Pengaruhnya baru terasa
setahun kemudian. Kabupaten Klaten termasuk
dalam wilayah yang ‘panas.’ Kebaktian masih bisa berlangsung, namun aktivitas pelayanan
menurun secara signifikan karena ada beberapa pengurus gereja yang menjadi anggota
Baperki. Saat itu, ada beberapa orang yang menjadi tahanan politik seperti Tan
Kwie Tek, Tan Boen Tjwan, dan David Chrisnata Chandra. Istilah populer saat itu
adalah ‘masuk sekolah’, yaitu ditahan kira-kira satu bulan. Untunglah pada saat
itu bpk. Alex (Djie Kiem Khoen, papanya Edi Sulistyo) menolak membeberkan nama pengurus-pengurus
Baperki lainnya sehingga jumlah orang yang menjadi tahanan politik tidak
semakin banyak. Namun sebagai akibatnya, Alex dinyatakan hilang sampai saat
ini.
Selepas peristiwa G 30 S/PKI, muncul suasana yang
tidak nyaman di dalam pergaulan di kalangan orang kristen di Klaten. Pada saat
itu, beberapa anggota jemaat GKI Klaten pernah menjadi aktivis BAPERKI yang
berafiliasi ke PKI. Banyak orang menjaga jarak dalam bergaul dengan jemaat GKI
Klaten karena khawatir mendapat cap negatif. Kuatnya sentimen negatif terhadap
etnis Tionghoa mendorong pendeta Notodiryo menganjurkan jemaat GKJ Klaten agar
beribadah di GKI cabang Klaten. Hal ini
untuk menghilangkan kesan bahwa GKI cabang Klaten adalah gereja orang Cina. Sementara
itu, GKI cabang Klaten juga berusaha membuktikan bahwa mereka bukan gereja
milik BAPERKI, melainkan gereja milik Tuhan Yesus.
***
Ada suatu masa, lonceng gereja jago tidak dapat
dibunyikan. Selama bertahun-tahun, lonceng itu membisu. Hingga suatu ketika GKI cabang Klaten
menerima mahasiswa stase bernama Kwee Djing Swie. Dia merasa penasaran mengapa
lonceng gereja tidak dapat berbunyi. Dia lalu punya ide untuk memeriksa kondisi loncengnya. Dia mengajak Budi Nugroho Sulaiman, Paulus
Sarjono, dan Kwee Djing Swie untuk memanjat menara. Ternyata lonceng tersebut
tidak dapat digerakkan karena tertutup kotoran burung sriti yang cukup tebal. Mereka membersihkan menggunakan air
keras sehingga lonceng dapat berfungsi kembali untuk memanggil jemaat. Lonceng
yang bergaris tengah sekitar 2,5 meter itu merupakan benda asli sejak zaman
Belanda.